Senin, 19 Maret 2012

Harapan Mencetak Generasi "Sempurna"


Tema: Korelasi antara Pendidikan Agama dengan Pendidikan Karakter

Harapan Mencetak Generasi “Sempurna”
Oleh: Khusnul Kholifah

Banyak yang menyebutkan pendidikan di Indonesia telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter.

Seorang dosen Fakultas Kedokteran di salah satu perguruan tinggi di Indonesia pernah menyampaikan keprihatinan kepada Dr. Ardian Husaini, seorang peneliti dari Universitas Ibn Kaldun Bogor . Berdasarkan survei, separuh lebih mahasiswa kedokteran di kampusnya mengaku, masuk fakultas kedokteran untuk mengejar materi.
Menjadi dokter adalah baik. Menjadi ekonom, ahli teknik, dan berbagai profesi lain, memang baik. Akan tetapi, jika tujuannya adalah untuk mengeruk kekayaan, maka dia akan melihat biaya kuliah yang dia keluarkan sebagai investasi yang harus kembali jika dia lulus kuliah. Ia kuliah bukan karena mencintai ilmu dan pekerjaannya, tetapi karena berburu uang.
Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi, Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tetapi tidak memiliki pribadi yang unggul. Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi “mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diploma hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mempunyai cita-cita lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya, bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.
Budayawan Mochtar Lubis mendeskripsikan salah satu dari ciri-ciri utama manusia Indonesia, yaitu manusia Indonesia memiliki watak lemah dan karakter kurang kuat. Dia kurang kuat mempertahankan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive” bersedia mengubah keyakinannya. Oleh sebab itu, kita dapat melihat gejala pelacuran intelektual amat mudah terjadi dengan manusia Indonesia.
Ajarkan Multikultural
Maraknya orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Islam atau pondok pesantren merupakan fenomena positif. Dr. Nugroho, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Semarang memandang bagus fenomena ini. Ia melihat dua penyebab kecenderungan itu muncul. Pertama, secara internal orang tua menyadari anak tidak hanya cukup berbekal kemampuan intelektual saja, juga harus punya bekal spiritual. Kedua, secara eksternal, kehidupan sekarang ini sangat keras, dengan persaingan yang sangat ketat, gaya hidup hedonis, konsumtif, dan sebagainya. Jika tidak punya bekal khusus untuk menghadapi kerasnya kehidupan, maka seseorang bisa stres, depresi, bahkan sampai bunuh diri. Dengan demikian, orang tua berharap anak bisa tahan terhadap godaan zaman.
Pengajaran tentang pentingnya sikap toleran kepada sesama umat, dan kehidupan multikultural harus tetap diberikan. Anak-anak harus diberi pengertian bahwa hidup ini bukan hanya kaum muslim, dan bahwa kebenaran dan kejujuran, bukan hanya milik kaum muslim saja. Mereka harus bisa menerima kehidupan multikultural.
Pendidikan agama dan kesadaran akan nilai-nilai religius serta pluralitas menjadi motivator utama keberhasilan pendidikan karakter. Dalam pandangan Islam, nilai-nilai Islam diyakini sebagai pembentuk karakter dan sekaligus bisa menjadi dasar nilai bagi masyarakat majemuk. Masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad SAW, berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, baik bagi pribadi muslim maupun bagi masyarakat plural.
Nilai kejujuran, kerja keras, sikap ksatria, tanggung jawab, semangat pengorbanan, dan komitmen pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas, bisa diakui sebagai nilai-nilai universal yang mulia. Bisa jadi, masing-masing pemeluk agama mendasarkan pendidikan karakter pada nilai agamanya masing-masing.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungannya kotor.
Berkarakter dan Beradab
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya komunis yang berkarakter dengan muslim yang berkarakter?  Komunis atau atheis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab, mencintai kebersihan, dan sebagainya. Muslim juga bisa seperti itu. Di mana letak bedanya?
Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab.
Prof. Syed Muhammad Naquib al Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu memaparkan bahwa adab adalah “Pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu, pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal, dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu.
Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang beradab. Dengan adab inilah, muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya. Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia belajar dan bekerja keras. Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab.
“Orang baik” atau Good Man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia ikhlas dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan adab sekaligus.
Kalau para tokoh agama, dosen, guru, pejabat, lebih mencintai dunia dan jabatan, ketimbang ilmu, serta tidak sejalan antara kata dan perbuatan, maka percayalah, pendidikan karakter yang diprogramkan Kementrian Pendidikan hanya akan berujung slogan.
Nilai-nilai Islam harus merembes dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai hanya berhenti sampai pada tataran kognisi namun tidak diinternalisasi dalam sikap dan perbuatan. Jadi, setiap muslim harus berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam program resmi  Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dari itu, pada akhirnya dapat mencetak alumni pendidikan yang unggul, beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sehingga tercipta generasi yang benar-benar “Sempurna”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar